LEMedia edisi 28 Maret 2012

0 komentar
Kenaikan harga BBM ditinjau dari dua sudut pandang 

MAMPUKAH SANG PEMIMPIN YANG BERKUASA MENYELAMATKAN RAKYATNYA?

2014 bukanlah waktu yang panjang untuk sebuah pemerintahan yang akan berakhir 2 tahun lagi. Berbagai kampanye serta permainan politik rasa-rasanya sudah mulai digencarkan oleh para calon-calon penguasa negeri ini selanjutnya. Berbagai kebijakan serta opini untuk publik sudah mulai digencarkan demi tercapainya citra positif untuk pemilu selanjutnya yang akan di lakukan pada tahun 2014. Buaian janji-janji manis sang pemimpin saat ini mungkin sudah tidak lagi menjadi pemikat simpati masyarakat negeri ini. Rakyat indonesia sudah terlalu pintar unuk terus dikelabuhi oleh janji para calon penguasa.

Menelisik tentang janji, apakah pemerintah yang sedang berkuasa saat ini tidak memiliki janji-janji saat kampanyenya? Ternyata rakyat masih ingat betul apa janji-janji beliau. Janji tinggallah janji, namun realita berkata lain. Harga bbm menjadi cerminan keberhasilan pemerintah saat melawan harga minyak dunia yang kian meningkat. Sang penguasa rasa-rasanya sulit untuk membela kepentingan masyarakat, dengan alih-alih penghematan subsidi yang akan digunakan oleh rakyat kecil, rasanya itu bukan alasan yang tepat.

Faktanya, penghematan subsidi ini bukan untuk kepentingan rakyat kecil melainkan untuk masyarakat kelas menengah. Bagaimana tidak, perhitungan yang terjadi apabila 1 mobil mengisi 40 liter bensin, maka ia telah menikmati subsidi rp. 140.000. Sedangkan untuk motor, apabila mengisi 4 liter bensin ia baru menikmati subsidi sebesar rp. 40.000. Melihat fakta tersebut, dengan kata lain subsidi ini memang diberikan untuk masyarakat menengah keatas karena hampir seluruh masyarakat yang menggunakan mobil pribadi masih menggunakan premium atau bbm bersubsidi. Lalu apakah ketika harga bbm dinaikkan akan menyelesaikan permasalahan yang ada?

Dilihat dari sisi negatifnya sangatlah banyak dampak yang ditimbulkan. Naiknya harga bbm sudah menjadi kesepakatan tidak tertulis akan mempengaruhi lonjakan segala biaya kebutuhan hidup. Dampak ini tidak diimbangi dengan pendapatan masyarakat yang meningkat dan ujung-ujungnya timbulah penyakit sosial. Korupsi semakin merajalela, pencurian dimana-mana, pembunuhan, perampasan semua dihalalkan dengan alasan masalah perut.

Ada dampak negatif namun pastinya akan diimbangi dampak positif. Dampak positif yang ditimbulkan adalah masyarakat semakin kreatif menciptakan alat-alat dan formula-formula baru untuk menghemat bbm. Selanjutnya apakah dampak positif ini lebih besar daripada dampak negative ? Tentu saja tidak, kesiapan masyarakat sangat menjadi factor utama apakah kebijakan ini berhasil atau tidak, dan yang terjadi saat ini adalah masyarakat tidak siap dengan kenaikan bbm karena tingkat pendapatan pun sangat tidak mendukung.

Rasa-rasanya pemerintah memang harus berani ambil ketegasan kepada para pemilik kendaraan pribadi khususnya kendaraan roda empat keluaran terbaru untuk tidak menggunakan bbm bersubsidi ketimbang harus menaikkan harga bbm yang semakin menyengsarakan rakyat kecil. Sejatinya, pemimpin yang terbaik adalah pemimpin yang mampu melawan arus yang menyengsarakan rakyatnya, arus kenaikan harga minyak dunia yang semakin menggila. Lalu apakah pemimpin negara kita yang tercinta ini akan mampu melawan arus untuk menyelamatkan rakyatnya? Kita lihat saja nanti. (L)


SIKAP ISLAMI MENGHADAPI KENAIKAN HARGA BBM

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM pertanggal 1 April 2012 telah meresahkan banyak masyarakat. Berbagai respon yang beraneka ragam mereka lakukan dalam menghadapi fenomena ini. Sebagai orang yang beriman, kita tentu yakin bahwa Islam mengajarkan aturan terkait masalah ini. Hanya saja ada yang tahu dan ada yang belum tahu aturan itu.

Sebagai orang yang beriman, kita tentu yakin bahwa aturan syariah merupakan aturan yang paripurna. Aturan yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, meskipun bisa jadi tidak sejalan dengan logika kita. Ini penting untuk kita pahami, karena bisa jadi di antara kita ada yang merasa tidak puas dengan aturan ini. Bisa jadi di antara kita merasa aturan ini tidak sesuai dengan kepentingannya. Namun apapun itu, Anda perlu yakin bahwa aturan syariat harus dinomor-satukan. Dengan demikian, kita layak untuk disebut telah mendapat hidayah, karena kita mengambil sikap yang berbeda dengan mereka yang tidak sesuai aturan Alquran dan sunnah.

“Sehingga semakin tersesat orang yang tersesat setelah mendapat penjelasan dan hiduplah orang yang hidup (dengan hidayah) setelah mendapat penjelasan.” (QS. Al-Anfal: 41)

Pertama, sesungguhnya Allah Dzat yang menakdirkan semua harga

Kasus naiknya harga barang, tidak hanya terjadi di akhir zaman. Fenomena ini bahkan pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebutkan dalam riwayat bahwa di zaman sahabat pernah terjadi kenaikan harga. Mereka pun mendatangi Nabi SAW dan menyampaikan masalahnya. Mereka mengatakan: “Wahai Rasulullah, harga-harga barang banyak yang naik, maka tetapkan keputusan yang mengatur harga barang.”

Nabi SAW menjawab: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang menetapkan harga, yang menyempitkan dan melapangkan rezeki, Sang Pemberi rezeki. Sementara aku berharap bisa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku disebabkan kezalimanku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan dishahihkan Al-Albani)

Dengan memahami hal ini, setidaknya kita berusaha mengedepankan sikap tunduk kepada takdir, dalam arti tidak terlalu bingung dalam menghadapi kenaikan harga, apalagi harus stres atau bahkan bunuh diri. Semua sikap ini bukan solusi, tapi justru menambah beban dan memperparah keadaan.

Kedua, sesungguhnya kenaikan harga tidak mempengaruhi rezeki seseorang

Bagian penting yang patut kita yakini bahwa rezeki kita telah ditentukan oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Jatah rezeki yang Allah tetapkan tidak akan bertambah maupun berkurang. Meskipun, masyarakat Indonesia diguncang dengan kenaikan harga barang, itu sama sekali tidak akan menggeser jatah rezeki mereka.

Allah menyatakan: “Andaikan Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 27)

Ibnu Katsir mengatakan: “Maksud ayat, Allah memberi rezeki mereka sesuai dengan apa yang Allah pilihkan, yang mengandung maslahat bagi mereka. Dan Allah Maha Tahu hal itu, sehingga Allah memberikan kekayaan kepada orang yang layak untuk kaya, dan Allah menjadikan miskin sebagian orang yang layak untuk miskin.” (Tafsir Alquran al-Adzim, 7:206)

Terkait dengan hal ini, jauh-jauh hari, Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya agar jangan sampai mereka merasa rezekinya terlambat atau jatah rezekinya serat. Nabi SAW bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak dan disepakati Ad-Dzahabi)

Setelah memahami hal ini, seharusnya tidak ada lagi yang namanya orang stres berlebihan ketika mengalami ujian ekonomi. Apapun ujian yang dialami manusia, sama sekali tidak akan mengurangi jatah rezekinya.

Namun satu hal yang perlu Anda catat tebal-tebal, hadis ini sama sekali bukan untuk memotivasi Anda agar tidak bekerja atau meninggalkan aktivitas mencari rezeki. Bukan demikian maksudnya. Kita tidak tahu seberapa jatah rezeki kita, sehingga tidak ada seorang pun yang mogok kerja, meninggalkan anak istri terlunta-lunta, karena latar belakang keyakinan bahwa rezekinya sudah dipatok harganya. Ini jelas pemahaman yang salah.

Nabi SAW mengingatkan demikian, tujuannya agar manusia tidak terlalu ambisius dengan dunia, sampai harus melanggar yang dilarang syariat. Kemudian ketika terjadi musibah, manusia tidak sedih yang berlebihan, apalagi harus stres.
"Keridhaan terhadap ketetapan & pembagian ALLAH walau tak disukai adalah bentuk keyakinan yang paling tinggi." (Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu anhu)


Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Posting Komentar